Disepanjang sejarah sejak abad Masehi sampai akhir abad ke 19, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak bisa dibandingkan dengan puluhan tahun terakhir ini. Kalau mata kita hanya tertuju kepada fenomena ini, kita akan tertipu dan tidak dapat melihat kepada esensi yang lebih dalam. Orang yang bijak mau menembus ke dalam esensi yang sesungguhnya, roh apa yang ditawarkan oleh zaman ini.
Didalam perspektif penulis membagi zaman dalam beberapa bagian diantaranya: Abad Iman (Abad 1-3), Abad kepercayaan (Abad 3-seterusnya), Abad Rasio (abad 15-17), Abad Pencerahan (17-19), Abad Ideologi (Abad 19), Abad Ananlisis (Abad 20). Dr. Sthepen Tong berkata “Abad 20 adalah abad yang bodoh”. Pada permulaan abad ke 20 manusia begitu nyakin yang ditemukan ideologi dan sistem pikiran abad ke 19, lalu mereka menggangap itu kebenaran. Abad ke 20 dianggap adalah era menuju kehidupan yang lebih baik (teori evolusi zaman), sebaliknya kita melihat tahun 1914-1918 Perang Dunia I meletus ini membuktikan pengharapan kepada zaman yang lebih baik sirna. Abad 20 hanya menghasilkan orang-orang yang mengosongkan otak lalu menciptakan Tokoh yang besar yang tidak mengenal Tuhan seperti Karl Max (tokoh Komunisme), Soren Abie Kierkegaard (Filsafat Eksistensialisme), Fredrik Nistzche (Ateis).
Sekarang kita hidup di abad ke 21, seperti abad ke 20 dimulai dengan optimisme yang naif, menunggu hari depan yang cerah. Sebagai hamba Tuhan dilahirkan di abad ini, kita harus berjuang menantang zaman ini. Apa yang ditawarkan oleh roh zaman sekarang ini. Namun sayang terlalu sedikit hamba Tuhan yang peka akan hal ini yang muncul diri mimbar gereja. Itu sebabnya gereja tidak memimpin dunia. Kita dipanggil untuk menjadi terang. Namun masalahnya, menerangi siapa? Dengan cara apa? Dan mendapat cahaya dari mana?
Hai umat manusia, kemanakah engkau? Optimisme, hari depan cerah karena evolusi. Tuhan berkata, “Kembalilah kepada-Ku, disinilah tempat pangkalan pengharapanmu. Di sini sasaran imanmu dan disini ada cinta kasih yang memberi kepuasan pada jiwamu”. “zaman ini harus kembali kepada Tuhan Yesus Kristus yang adalah kepala Gereja!”. SOLA DEO GLORIA!
Penulis: Posman Alexander Aritonang S.Th