Ibrani 12 : 1-3
Judul tulisan ini jelas artinya, siapakah yang tidak ingin pelayanannya berhasil, tetapi harus kita akui adakalanya kita jenuh dalam pelayanan. Kadang-kadang kita bertanya, apakah kita harus mencari pelayanan yang lain? Barangkali sesudah lama melayani tampaknya pelayanan itu tidak membuahkan hasil, sehingga kita ragu, bimbang, apakah benar ini pelayanan yang diberikan Tuhan Yesus bagi kita?
Bacaan firman Tuhan hari ini kiranya dapat memberi pencerahan dan jawaban. Banyak orang awam menganggap penulis kitab Ibrani adalah Paulus, tetapi sebagian ahli Alkitab tidak sependapat karena kitab Ibrani dikirimkan untuk orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus mengatakan bahwa ia adalah Rasul untuk bangsa-bangsa di luar Yahudi. Lagipula Rasul Paulus menulis surat-suratnya dengan menyebut namanya sendiri, bukan sebuah surat anonim. Disamping itu, gaya bahasa tulisan-tulisan Paulus berbeda dengan gaya bahasa penulis kitab Ibrani.
Dari isi kitab Ibrani, kita dapat memperkirakan bahwa penulisnya adalah ahli teologi PL, menguasai hukum taurat, tetapi sudah lahir baru, sudah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat nya. Ia memahami dengan baik arti keselamatan di dalam Yesus Kristus.
Siapapun penulisnya, yang jelas kitab Ibrani ditulis untuk memilihara iman orang-orang percaya pada masa itu, pada masa kesukaran dimana sedang terjadi diaspora, pengikut-pengikut Kristus dianiaya sehingga mereka menyebar ke berbagai tempat dan berbagai negara.
Kitab Ibrani memberi pertolongan di kala iman kita lemah, bukan hanya untuk orang-orang percaya pada zaman dulu tetapi juga bagi kita pelayan-pelayan Kristus pada masa kini.
Tadi dikatakan, adakalanya pelayan Tuhan merasa jenuh, merasa lemah di dalam iman. Dalam saat-saat seperti ini lah kitab Ibrani memberikan kita kekuatan, inspirasi suatu kesegaran baru.
Ada empat hal yang dapat kita pelajari dari dari pembacaan firman Tuhan di atas.
Pertama, dari ayat 1 bagian terakhir penulis Ibrani mengatakan, “bahwa hidup pelayanan kita ibarat sebuah perlombaan”. Pada masa kitab Ibrani ditulis, perlombaan populer di kekaisaran Romawi adalah lomba lari marathon. Lomba lari marathon adalah lomba lari jarak jauh, bukan lari jarak pendek.
Ada perbedaan lomba lari jarak pendek, katakanlah lari 100 M dengan lari jarak jauh yang barangkali 5 KM atau lebih. Dalam lari jarak pendek yang di pentingkan adalah kecepatan awal, sehingga pelari perlu berlari secepat-cepatnya pada awal perlombaan. Dalam lari jarak jauh, yang jadi masalah utama adalah daya tahan. Untuk lari jarak jauh ada 2 tahap kritis, berbeda dengan lari jarak pendek seorang pelari jarak jauh tidak bisa lari sekencang- kencangnya pada bagian awal karena nanti. tenaganya habis terkuras pada bagian awal sehingga mengurangi daya tahan menyelesaikan perlombaan itu sampai selesai. Ibaratnya seorang yang ikut Tuhan Yesus begitu bersukacita, begitu bergembira awalnya, tetapi karena tidak bertumbuh diatas tanah yang tebal, maka pada waktu datang pergumulan ia tarik kiri. Tahap kritis yang kedua, terjadi ketika pelari marathon itu sudah menempuh setengah jalan, merasa capek sehingga mudah tergoda untuk berhenti, tidak melanjutkan lagi. Kalau kedua bagian itu sudah di lewati kemungkinan besar pelari itu akan bisa menyelesaikan perlombaan sampai tahap akhir.
Kedua, pelayanan adalah seperti perlombaan, dan dalam sebuah perlombaan tentunya ada penonton. Penulis Ibrani mengatakan: “Ada banyak saksi yang mengelilingi kita”. Siapakah saksi-saksi yang dimaksudkan oleh penulis Ibrani?. Tampaknya berhubungan dengan pasal 11, pasal yang khusus berbicara tentang saksi-saksi iman. Ada banyak tokoh-tokoh iman yang disebutkan disana.
Sorak-sorai penonton dalam sebuah perlombaan menambah semangat, khususnya dalam lomba lari jarak jauh. Seorang pelari membutuhkan dukungan terutama pada bagian pertengahan, pada saat ia merasa begitu capek dan lelah.
Saksi-saksi iman itu seolah-olah berbicara secara langsung kepada kita. Adakalanya kita merasa sudah terlalu lama pelayanan ini. “Aku sudah melayani 5 tahun, tetapi tidak ada hasil apa-apa, aku bingung Tuhan mengarahkan aku kemana sekarang ini”. Pada waktu kita tidak sabar menunggu hasil pelayanan, mungkin kita mendengar seorang saksi ima, Nabi Nuh, seolah berkata: “Anakku engkau katakan, engkau sudah menunggu 5 tahun, aku membutuhkan waktu 120 tahun untuk membangun bahtera itu, aku diejek, dipermalukan oleh masyarakat di sekitar ku, mereka tidak percaya bahwa kesudahannya sudah semakin dekat”.
Apabila pada suatu waktu kita merasa kehidupan kita ini galau, segala sesuatu seperti tidak menentu, kita berada di titik yang paling bawah dalam pelayanan, saksi iman Abraham mungkin berkata: “Jangan ikut apa kata dunia, jangan lihat apa yang ada di depan matamu, tetapi percaya saja pada apa yang di katakan Tuhan”. Abraham menunggu lama janji Tuhan untuk menerima berkat anugerah. Kehadiran Ishak anak perjanjian di dalam kehidupan rumah tangganya, anak yang sangat di kasihi nya ini, diminta oleh Tuhan untuk di persembahkan sebagai korban di gunung Moria. Betapa galau nya bapa Abraham sewaktu menerima perintah Tuhan itu, tetapi ia punya iman, ia berpikir dalam hatinya: “Kalau Tuhan memintanya, tentu Ia juga nanti bisa menghidupkannya”. Ia tetap berjalan dalam iman. Kehidupan kita pada suatu waktu, bisa juga berjalan berlawanan dengan apa yang kita harapkan, ada angin ribut dalam kehidupan, dalam pelayanan, tetapi ikuti Abraham, percaya hanya pada janji firman Tuhan.
Barangkali kita merasa diperlakukan tidak adil. Saksi iman, Yusuf mungkin berkata: “Aku mau dibunuh oleh saudara-saudara ku, dimasukkan ke dalam lobang sumur yang dalam, aku menjadi budak di tanah Mesir. Pada waktu Tuhan, mengangkat aku menjadi Perdana Menteri yang menguasai peredaran uang, dan bahan makanan, serta gerak-gerik manusia, aku tetap mengampuni saudara-saudara ku”.
Pada waktu Yusuf diangkat Tuhan menjadi Perdana Menteri di Mesir, ia tetap Yusuf yang dulu, Yusuf yang setia, Yusuf yang percaya kepada Allah, Yusuf yang bisa mengampuni saudara-saudaranya.
Ketiga, penulis Ibrani mengatakan: “Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang di wajibkan bagi kita”. Penulis Ibrani menasihati kita untuk menanggalkan semua beban yang sedang kita pikul. Orang yang hidup di negeri yang punya musim dingin, waktu salju lagi tebal, memakai pakaian musim dingin dengan jaket, mantel, sarung tangan dan topi, sehingga bagian tubuh yang tampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Dengan pakaian seperti itu, seorang tidak mungkin bisa berlari. Supaya kita bisa berlari kita perlu menggunakan pakaian seringkas mungkin, celana pendek, baju kaos, dan sepatu karet.
Tanggalkan beban sehingga kita bisa mengikuti perlombaan. Ketika Zakeus bertemu dengan Yesus ia bertobat. Dalam ucapan pertobatannya ia mengatakan: “Kalau ada orang yang sudah kuperas aku akan menggantinya empat kali lipat “. Ini adalah beban Zakeus yang dirasakan nya selama ini. Ia memang punya harta banyak, tetapi bebannya berat. Ketika ia mengutarakannya kepada Yesus, beban itu jadi ringan. Apa yang menjadi beban kita dalam kehidupan ini? Apakah ada dosa?. Mungkin orang lain tidak tahu, tetapi kita tahu dan tentu saja Tuhan mengetahuinya.
Apabila kita ingin mengikuti perlombaan iman ini, tanggalkan dosa itu. Barangkali ada kebiasaan yang bukan dosa, tetapi menyita banyak waktu, sehingga kita tidak punya waktu lagi untuk Tuhan. Tanggalkan beban itu. Kalau internet ria membuat kita tidak bisa ikut kebaktian Minggu, tinggalkan internet itu. Kalau kita kecanduan cari uang sehingga tidak ada waktu ikut persekutuan dan ibadah hari Minggu kurangi usaha cari uang.
Kita tidak membawa suatu apa ke dunia ini, dan kitai tidak akan membawa apa-apa ketika kembali ke rumah Bapa di Sorga.
Keempat atau yang terakhir, ayat terakhir dari firman Tuhan yang kita baca yaitu “mata yang tertuju kepada Yesus”. Penulis Ibrani mengatakan dua kali, dalam ayat 2 dan ayat 3, kenapa kita perlu memandang Yesus. Pada bagian terakhir ayat 3 dikatakan, “supaya kita tidak menjadi lemah dan putus asa”, sekali lagi, “supaya kita tidak lemah dan putus asa pandang Yesus”. Adakalanya pelayanan begitu berat, banyak masalah, mungkin kita berkata: “Aku berhenti melayani, aku cari pelayanan yang lebih menyenangkan”. Dalam keadaan seperti inilah penulis Ibrani mengatakan “pandang Yesus, lihat Yesus”. Dalam perjalanan Umat Israel dari Mesir ke tanah perjanjian, umat Israel sering bersungut-sungut, oleh karena itu Allah menghukum mereka, mengirimkan ular-ular tedung mematuk mereka sehingga banyak yang mati.
Pada waktu mereka mendatangi Musa minta petunjuk apa yang harus dilakukan, Musa minta petunjuk Allah, dan Allah mengatakan: “Buatlah patung Ular dari tembaga dan pancangkan di tiang”. Setiap orang yang sudah terluka dan melihat ke tiang itu ia akan disembuhkan.
Dalam Yoh. 3:14-15, tertulis ayat-ayat persamaannya: “Siapa yang memandang Yesus, yang ditinggikan itu memperoleh hidup yang kekal”. Dalam kehidupan orang percaya ,memandang Yesus lebih dari hanya sekedar bertatap muka dengan Yesus, Yesus adalah bagian dari kehidupan kita.
Yesus berdiam dalam diri kita di dalam Roh-Nya yang kudus. Memandang Yesus tidak lagi berarti pandang-memandang dalam jarak yang jauh, tetapi kita memandang Yesus bertemu muka dengan muka, kita berjalan bersama. Inilah makna dari memandang Yesus bagi orang yang sudah percaya. Kita mungkin pernah menyanyikan lagu “Yesus adalah sobat setia”. Benar sekali ungkapan itu. Ketika penjahat di kayu salib mengatakan: ”Kalau engkau kembali sebagai Raja ingat aku Yesus”, Yesus berkata kepadanya: “sesungguhnya sebentar lagi kita akan bersama, saya dengan engkau berada di Firdaus”. Yesus adalah sobat setia. Di dunia ini kita bersama Yesus, di kerajaan kekal kita bersama Yesus. Adakah persahabatan yang lebih indah dari itu?
Yesus sobat setia, Yesus mengerti masalah yang kita hadapi, bahkan Ia mengerti bahasa tetesan air Mata. Ketika Yesus bertemu dengan Maria dan Marta ia menangis, mereka menangis bersama-sama, karena Lazarus sudah meninggal dunia. Sungguh mengherankan mendengar Yesus menangis. Yesus adalah Tuhan, Ia mengetahui bahwa Lazarus sebentar lagi akan Ia bangkitkan, Lazarus akan hidup kembali, tetapi kenapa Ia menangis? Karena Ia berbagi rasa, Ia mengerti akan arti duka, Ia bersimpati dengan Maria dan Marta. Ia mau berbagi rasa, menangis dengan orang yang menangis, Yesus mengerti bahasa air mata. Maz 51 : 19 berkata: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah”.
Apakah hati kita sedang patah dan remuk, merasa jiwa sedang hancur?. Yesus peduli, Ia mengerti apa artinya penderitaan dan duka, Ia sendiri sudah merasakan penderitaan itu. Kita barangkali mengatakan: “Aku tidak layak untuk ikut Yesus, dosa ku begitu besar, hidup ku begitu berat”, Yesus berkata: “Aku bukan datang untuk orang sehat, tetapi untuk orang yang sakit”.
Kalau kita ingin berhenti meninggalkan pelayanan, pandang Yesus!.
Ada sebuah cerita tradisi tentang Simon Petrus pada akhir masa hidupnya. Ia tinggal di Roma pada masa pemerintahan kaisar Nero yang kejam, orang-orang Kristen dianiaya. Jemaat di Roma meminta agar Rasul Petrus meninggalkan kota itu. Di tengah perjalanan, Petrus bertemu dengan Yesus dan bertanya: “Hendak kemana engkau Tuhan?”, Yesus berkata: “Aku menuju kota Roma untuk disalibkan kembali”. Penampakan Yesus menyadarkan Petrus bahwa ia telah meninggalkan pelayanan dan segera ia balik arah pulang kembali ke Roma dimana kaisar Nero menyalibkannya. Menurut cerita tradisi Rasul Petrus meminta agar ia tidak disalibkan dengan kepala ke atas karena baginya itu terlalu terhormat disamakan dengan Yesus, Tuhan dan Rajanya. Ia meminta untuk disalibkan dengan kepala ke bawah.
Apabila pada waktu ini kita punya pikiran meninggalkan pelayanan, renungkanlah pertemuan Petrus dengan Yesus. Apakah kita ingin menyalibkan Yesus untuk ke dua kalinya? Pandang Yesus dan kembali ke dalam pelayanan. Ia akan menguatkan kita, memberikan kemampuan ekstra untuk mengatasi pergumulan betapapun beratnya.
Sumber: KYKY (Kebenaran Yang Kami Yakini) GIKI